JAKARTA, Lomboktoday.co.id – Praktek kartel (mafia) komoditas barang-barang kebutuhan pokok seperti daging, ayam, gula, garam, jagung, kedelai, industri otomotif dan lain-lainnya, ternyata keuntungannya mencapai ratusan triliun rupiah. Jumlah itu jauh lebih besar dari snaksi yang harus dijatuhkan oleh UU KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang hanya Rp25 miliar. Rakyat menjadi korban karena harus membeli harga dengan mahal. Karena itu, KPPU harus diperkuat.
‘’Kartel ini masalah yang tidak pernah tuntas, padahal akibatnya sangat fatal. Selain uang negara yang bisa diselamatkan sampai ratusan triliun rupiah, rakyat juga menjadi korban karena harus membeli dengan harga yang mahal. Untuk itu, KPPU harus diperkuat,’’ kata Anggota Komisi VI DPR RI FPG, Eka Sastra dalam diskusi ‘’Revisi UU No.5 tahun 2009 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat’’ bersama Ketua KPPU, Muhammad Syarkawi Rauf, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (01/9).
Menurut Eka, ada persaingan sempurna yaitu banyak pembeli, penjual, barang mudah kleuar dan masuk dan sebagainya. Kedua, ada oligarki di mana barang itu terkonsentrasi pada satu orang atau kelompok dan dikuasai orang tertentu, dan ketiga, monopoli. Karena oligarki, daging sapi Rp120/kg di mana konsumsi daging dalam negeri mencapai 2,9 juta ton/tahun, maka keuntungan ratusan triliun.
Tapi, kenapa tak bisa dihukum oleh KPPU? Karena menurut UU hanya praktek kartel yang bisa dihukum. Seperti mengadakan koordinasi, mengatur harga, mengatur pasar, dan sebagainya.
‘’Kini, Komisi VI DPR RI sedang membahas monopoli dan BUMN. Ini harus kita kawal, karena jantungnya ada di kartel. Kartel beres, maka ratusan triliun uang negara bisa diselematkan,’’ ungkapnya.
Hanya saja kata Eka, ada kepentingan untuk melemahkan KPPU karena ada kepentingan by design oleh kelompok tertentu, agar kartel tetap dilanggengkan. Juga perbaikan kebijakan impor seperti garam, ternyata perusahaan, pengimpor ada saling terkait dan dekat dengan kekuasaan.
‘’Ini harus dituntaskan, agar pengusaha bisa memproduksi barang dengan baik, dan rakyat membeli dengan harga yang wajar,’’ tambahnya.
Itu juga menghambat lahirnya pengusaha baru, struktur perekonomian dikuasai segelintir orang, fondasi ekonomi rapuh. ‘’Jadi, kita ini bangkrut di sektor komoditas bukan industri. Sayangnya, kini berkelindan antara penguasa, pengusaha dan parpol. Padahal, kalau bersatu melawan kartel, maka perekonomian akan mampu sejahterakan rakyat,’’ ujarnya.
Khusus untuk daging kata Syarkawi, pertama ada daging beku yang disuplai ke hotel, restoran dan sebagainya, kedua sapi siap potong dan ketiga, sapi perlu penggemukan tiga bulan terlebih dahulu agar seolah-olah sebagai sapi lokal (naturalisasi). Padahal sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mulai mengurangi impor daging sapi mulai 10 persen dari 70 persen impor. Pada tahun 2009 sudah 70 persen dan tiap tahun harus dikurangi 10 persen dan seterusnya harus dikurangi sampai 50 persen pada tahun 2014. Masalahnya kata Syarkawi, impor itu tidak dibarengi dengan populasi sapi di dalam negeri.
‘’Ketika terjadi kelangkaan daging di DKI Jakarta, sebanyak 70 persen, pemerintah berusaha stabilisasi tapi gagal,’’ ungkapnya.
Untuk tahun 2014 impor sebanyak 750 ribu sapi, 2013 sebanyak 350 sapi, dan 2015 sebanyak 5o ribu sapi, tapi untuk semester ke IV belum ada kepastian. ‘’Anehnya ketika terjadi kelangkaan ada 5.800 sapi siap potong tapi ditahan oleh kartel. Inilah yang sedang KPPU investigasi dan mulai disidangkan pada September 2015 ini,’’ jelas Syarkawi.
KPPU sendiri menurut Syarkawi sudah berkoordinasi dengan perusahaan impu Australia, dan siap memberikan data. Juga ada kartel garam yang dipakai untuk iindustri, konsumsi domestik, dan kombinasi keduanya.
‘’Garam ini menjadi komoditas penting karena digunakan untuk industri kertas, farmasi, kaca, pengeboran minyak dan makanan. Ada 7 perusahaan impor garam dari Australia. Sehingga rakyat membeli garam lebih mahal dan petani tambang mengalami kesulitan. Untuk kasus ini sudah disidangkan, dan hakim menghukum hanya Rp5 miliar dari tuntutan Rp25 miliar,’’ tuturnya.
Namun, dia tak bisa menyebutkan nama-namanya, juga sedang investigasi kebijakan tarif bawah pesawat terbang. Berapa besar kerugian dengan kebijakan itu, karena dari 70 juta jumlah penumpang pesawat, kini menjadi 64 juta pembeli tiket.
‘’Ini berdampak ke pariwisata. Apalagi ini tidak diback up oleh institusi yang kuat. Kalau begini terus, maka pertumbuhan ekonomi akan lambat karena dikuasai segelintir orang, dan ketika terjadi krisis, semua kesulitan,’’ pungkasnya.(ers/ltd)
No Comments