Side Effects Covid-19 dan Putar Arah Pendidikan Nasional ?

Lalu Sirajul Hadi.
Lalu Sirajul Hadi.

Oleh: Lalu Sirajul Hadi |

PANDEMI Covid-19 telah sukses merubah banyak hal, termasuk tatanan ‘status quo’ pendidikan. Perubahan yang tidak saja tentang rutinitas pembelajaran dan pendidikan, tapi juga pembiasaan (habituasi) dan terhadap berbagai kebijakan (polecy).

Dalam kontek Pendidikan Nasional, perubahan yang terjadi sebagi akibat dari Side Effects Covid-19 ini cukup signifikan, dan bahkan radikal dan mendasar. Pertama, adalah tentang pilihan model evaluasi Pendidikan nasional, yang selama ini kebijakannya populer kita sebut Ujian Nasional (UN).

Model evaluasi yang berlaku ini, sudah sejak lama dan bertahun-tahun selalu mengundang pro kontra dari banyak pihak dan kalangan, bahkan sejak dibuatnya sebagai peraturan kebijakan. Oleh para kritikus pendidikan, dipahami bahwa kebijakan UN, tidak memberikan jaminan pendidikan menjadi baik dan bermutu, dan bahkan dianggap bukan solusi dan substansi.

Setidaknya terdapat dua menteri pendidikan yang mewacanakan kebijakan UN dikoreksi, pertama ketika menteri pendidikan dijabat Muhajir, seorang guru besar berlatar belakang akademisi. Saat menjabat, sang mentari mempunyai ide dan kemauan yang kuat sekali, agar UN dimoratorium, lengkap dengan argumentasi dan landaaan akademisnya. Tapi toh, gagasannya itu kandas, tidak berhasil- karena konon istana belum restui secara full, khususnya pihak wakil presiden Jusuf Kala, yang kebetulan beliau dikenal sebagi tokoh dan figur central yang membidani lahirnya Ujian Nasional (UN)

Setelah posisi menteri Pendidikan dijabat Nadhim Makarim, wacana ini menguat kembali, kali ini tidak saja akan memoratorium UN, tetapi ‘akan’ membuat kebijakan menghentikan UN pada tahun 2021, dan itu pembahasan dan keputusannya sudah final namun akan. Sebuah gerakan yang revolusioner dan agresif, karena selama ini UN telah dibuat sebagai prosesi yang sakral, bagi sekolah.

Respon publikpun muncul terhadap wacana ini, akan tetapi mayoritas setuju dan mengiakan, yang pasti adalah ‘akan’ menghapus dan meniadakan.

Pandemi Covid-19 yang mendera Indonesia, ternyata merubah banyak skenario dan proposal pendidikan nasional kita yang sedang berjalan dan berproses. UN yang dipersiapkan sekolah ditingkat pendidikan dasar dan menengah selama bertahun-tahun, positif ditiadakan penyelenggaraannya tahun ini, tidak ditunda tapi ditiadakan. Hebatnya, argumentasi dan rasional pembatalan, tidak lagi soal dan isu efektifitas UN, tidak tentang mutu dan kualitas pendidikan, tidak juga soal badgeting atau besarnya anggaran, tetapi ternyata karena soal ancaman nyawa manusia, dari penularan virus berbahaya (Corona), yang dapat menular dari kontak dan kerumunan. Tentu, anak sekolah dan UN adalah kerumunan, maka alasan keselamatan jiwa, UN ditiadakan.

Side Effects Covid-19 ternyata terbukti ampuh, karena telah mempercepat rencana dibatalkannya UN dari rencana semula. Dahsyatnya juga adalah, pembatalan UN yang lebih cepat dari seharusnya, lancar tanpa satupun penolakan dan perdebatan.

Bagi lebih dari 2 juta siswa sekolah dasar dan menengah, yang seharusnya akan mengikuti UN tahun ini, sebaigan menganggap ini berkah ? Merasa bahwa covid-19 telah menyelamatkan dan membantu mereka dari tuntutan dan situasi stress belajar.

Side Effects lainnya dari Covid-19 dalam pendidikan adalah, tentang kewajiban dan pemaksaan secara serius, terhadap pendidikan yang wajib dilaksanakan berbais daring (online).

Oleh sebagain guru yang selama ini merasa nyaman dengan kemampuan apa adanya, cuek dan acuh terhadap kemajuan teknologi dan media pembelajaran, alibi dan tidak mau akrab dengan penggunaan media, jaringan online dan aplikasi dalam pembelajaran, dipaksa untuk keluar dari zona ‘nyaman’. Sebagai guru yang sebelumnya tidak mau dan ogah berkembang dan belajar, yang selama ini memiliki mindset hanya sekedar menjadi guru saja, mendapat tantangan yang luar biasa, ketika dipaksa untuk dituntut belajar dengan media, tekhnoligi dan sistem daring.

Pencegahan covid-19 melalui social distancing Dan physical distancing, melarang secara ketat terjadinya pembelajaran, yang dilakukan secara langsung, yang face to face-kontak langsung atau bertatap muka. Aturannya kemudian adalah, siswa dan guru belajar dan mengajar dari rumah, Learning from Home. Keharusanya adalah proses dan penyajian materi oleh guru terhadap siswa, harus dilakukan secara onlie dan daring, guna menghindrai proses manual dan konvensional, berkumpul dan bertatap muka langsung antara guru dan siswa, ataupun antara siswa dengan siswa.

Pandemi covid-19 telah memaksa para guru, yang sebelumnya cuek dan apatis terhadap tekhnologi dan aplikasi jaringan, untuk kemudian belajar secara giat, mencari tau dan cara. Covid-19 telah merubah habit dan perilaku guru, untuk menjadi lebih profesional dan akrab dengan pemanfaatan IT dan media dalam pembelajaran. Maka, para gurupun, yang sebelumnya tidak bisa, menjadi terpaksa bisa. Ada perubahan, walaupun perubahan itu terpaksa. Itulah efek samping covid-19 dalam dunia pendidikan kita hari ini.

Lantas pertanyaannya, apakah perubahan mindset dan perilaku menuju arah pendidikan nasional yang unggul dan maju, yang berbasis tekhnoligi informasi dan aplikasi, harus dilakuakan secara paksa, kasar dan dibawah bayang-bayabg ancaman kematian ?

Tentu tidak, namun pandemi covid-19 yang menyasar Indonesia, tidak saja sukses mengubah regulasi dan kebijakan pendidikan, tetapi juga mengoyak sekaligus menghadirkan kesadraan baru (guru), untuk membekali diri dengan ragam skill dan keahlian, tanpa menunggu musibah dan masalah itu datang.
Wallahua’lam.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020. #Semangat Indonesia.(*)

Penulis adalah Kepala MAN 3 Mataram.