ANTUSIASME DAN TEORI RELATIVITAS EINSTEIN

Cukup Wibowo.
Cukup Wibowo.

Oleh: Cukup Wibowo |

TAK JARANG kita mengalami durasi waktu yang sama dengan perasaan yang berbeda. Pada satu sisi, waktu berjalan dengan begitu cepatnya, namun pada sisi yang lain waktu justru berjalan dengan begitu lambatnya. Berada di dalam ruang percakapan yang menyenangkan waktu menjadi tak terasa lamanya. Berbeda halnya bila berada di lingkungan yang tak kondusif dengan isi percakapan yang tak yang menyenangkan, waktu seakan tak beranjak dari semula Semenit saja sudah serasa sejam apalagi sejam entah bagaimana melukiskan rasa yang tak mengenakkan saat waktu berjalan dalam kehendak yang tak bisa dinikmati.

Tentu saja kita tak sedang membahas hukum fisika atas waktu dan interval ruang yang pernah dijelaskan oleh Albert Einstein lewat Teori Relativitasnya, tapi tentang waktu dengan relativitas pemaknaannya akan pernah dirasakan oleh siapapun dalam kisah dan peristiwa yang dialaminya.

Berada di dalam sebuah presentasi yang berisi keseriusan tema tentu membutuhkan energi yang tak sedikit. Rasa-rasanya hanya mereka yang memiliki kepentingan atas kegiatan itu saja yang dipastikan “bisa menikmati”, namun bagaimana dengan yang sejak semula hanya jadi partisipan? Bila satu presentasi saja membutuhkan waktu satu jam lebih bagaimana rasanya menyaksikan tujuh presentasi dengan variasi tema dan penyajiannya?

Di Rapat Koordinasi Terbatas yang mempertemukan widyaiswara dengan unsur manajemen di Wisma Tambora, Selasa (16/6) yang secara khusus menghadirkan 7 Widyaiswara dalam presentasi perkonsultasiannya untuk memenuhi syarat penjenjangan yang lebih tinggi. 6 orang menuju jabatan Widyaiswara Utama, sementara 1 orang menuju Widyaiswara Muda. Dalam pertemuan itu, sebagian besar orang yang berada di ruangan terlihat seperti tak kehilangan antusiasme sejak awal hingga akhir sampai tiba pada apa yang disampaikan oleh Haeli, SE., M.Ak, sebagai penyaji terakhir dalam kegiatan itu. “Sebelum saya mulai menyampaikan apa yang menjadi isi perkonsultasian saya, ingin saya sampaikan kepada bapak dan ibu yang hadir bahwa kita sudah berada di sini lebih dari 9 jam!”.

Durasi atas waktu yang membuat setiap orang tak lagi memasalahkan lamanya menunjukkan kepada kita bahwa interaksi dengan kepekatan pemikiran serius di dalamnya akan bisa dinikmati oleh siapapun bila sejak awal sudah muncul kebersediaan dalam menempatkan kebutuhan akan kemajuan sebagai komitmen bersama. Munculnya antusiasme tentu tak bisa dilepaskan dari kondusivitas suasana yang membuat setiap orang memiliki kesempatan lebih maksimal untuk bisa mengelaborasi kemampuan yang dimilikinya dengan dukungan penuh lingkungan yang dirasakannya.

Antusiasme adalah embrio bagi tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging) dalam kultur kebersamaan yang dikembangkan oleh organisasi dengan prinsip adil, sehat, dan terbuka. Dalam kondusivitas organisasi yang makin menyenangkan oleh bertaburannya kegembiraan dan optimisme, seluruh harapan menjadi makin mudah untuk bisa diwujudkan.

Sebuah kemajuan pada gilirannya akan selalu menempatkan mereka yang memiliki kesungguhan sebagai pemeran utamanya. Selayaknya sebuah film, posisi aktor utama tentu berbeda dengan para figuran yang hanya melintas selintas pandang. Posisi utama dalam urusan apapun akan senantiasa menghadirkan kemanfaatan yang banyak. Rasa-rasanya, tak ada yang tak ingin menjadi utama dalam pengabdian hidupnya, kecuali mereka yang memang tak pernah belajar untuk mengerti makna keberartian dalam hidupnya.(*)