Oleh: Cukup Wibowo |
TAK ADA keadaan yang baik bisa dihasilkan oleh tindakan yang buruk. Ungkapan ini seakan menjadi rumusan tindakan bagi siapa saja di urusan apa saja. Jadi, bila ingin memperoleh hasil yang baik, maka seluruh upaya harus disiapkan dengan baik pula. Karena persiapan yang baik adalah awal bagi terwujudnya kesimpulan yang baik. Sebagaimana kesuksesan yang tak bisa diraih hanya dengan cara-cara instan, melainkan dengan ketekunan dan tahapan proses yang baik.
Sejak dikumandangkan kehadirannya ditambah dengan ramainya pemberitaan tentang pandemi Corona Virus Disease Tahun 2019 (Covid-19), benak kita seakan hanya berisi tentang Virus Corona. Yang lain seolah-olah tak penting. Bahkan oleh alasan atas kewaspadaan terhadap Corona, banyak kantor pemerintah dan swasta yang membatasi kegiatannya. Tak sedikit yang meliburkan diri. Lembaga pendidikan semacam kampus dan sekolah juga begitu, diliburkan dalam batas waktu yang tak berkepastian. Semua karena Corona.
Kengerian atas Corona meluas tak hanya pada bagaimana ia harus diwaspadai di ruang-ruang publik, bahkan juga pada ruang-ruang privat di mana pikiran setiap orang menjadi hal utama untuk menjadi target atas kengerian itu. Ini yang membuat setiap orang mudah mengalami gangguan kepribadian paranoid, yang ditandai dengan rasa curiga dan takut berlebihan. Umumnya individu dengan kepribadian paranoid selalu menganggap bahwa orang lain itu tak ubahnya pembawa virus dan bisa menularinya, dan merasa kondisi di sekitarnya mencurigakan atau berbahaya. Tak aneh bila setiap orang bahkan pada tubuhnya sendiri curiga ketika tubuhnya mengalami sakit. ‘’Jangan-jangan tubuh saya sudah dijangkiti oleh virus Corona’’. Ungkapan kecemasan ini timbul hanya karena tubuhnya sedang sedikit demam atau sesak napas yang sebelumnya sebenarnya juga kerap ia alami. Pendeknya, dalam pandemi ini pikiran setiap orang entah kenapa menjadi begitu mudah berisi hal-hal negatif.
Kita tak akan pernah bisa mengembangkan diri menjadi lebih baik bila tak keluar dari jebakan diri dari kepanikan yang berlebihan. Kepanikan itu tak ubahnya gangguan psikis semacam kecemasan dengan ciri diri diserang oleh rasa takut yang luar biasa. Timbulnya perasaan bahwa suatu bencana akan terjadi, atau adanya ketidakmampuan untuk mengendalikan diri sekalipun tidak ada sesuatu yang buruk yang benar-benar terjadi. Dalam kepanikannya seseorang bisa merasakan sensasi fisik yang kuat, seperti mengalami serangan jantung. Kepanikan dapat terjadi kapanpun, dan mereka yang mengalami serangan seperti ini mudah untuk terjebak khawatir dan ketakutan jika hal tersebut sewaktu-waktu dapat terulang kembali.
Tubuh kita yang semula sehat bisa turun imunitasnya bila kita mudah menyerah atas kecemasan yang tak kita atasi dengan logika yang menjadi kekuatan berpikir kita. Di dalam tubuh terdapat pikiran yang merupakan pengendali tubuh. Tak ubahnya sebuah wadah yang tergantung atas apa yang dituangkan ke dalamnya, pikiran juga begitu. Bila yang kita tuangkan adalah optimisme dan semangat diri, maka yang kita dapatkan sebagai efeknya adalah pikiran yang berkelopak, mekar seumpama kembang dengan keindahan yang menakjubkan.
Pikiran kita memang mudah dibentuk oleh pikiran orang lain. Terlebih bila kita terbiasa terpukau oleh kehebatan sebuah pandangan. Itu lumrah terjadi dimana ketika sebuah pengetahuan sedang dijabarkan, yang tak memiliki cukup pengetahuan akan mudah untuk terkesima pada yang memiliki pengetahuan lebih. Dalam perkembangan teknologi informasi yang membuat kita menjadi lebih mudah mengakses pengetahuan melalui sumber internet, kita akan juga mudah terpesona oleh begitu banyaknya hal yang sebelumnya tidak kita ketahui. Semua itu lumrah. Yang menjadi masalah hanyalah pada bagaimana cara kita mengelola pikiran kita dengan benar dan bijak.
Tuhan dengan segala kebaikannya seperti selama ini adalah referensi terbaik kita dalam membuat keputusan. Tak ada yang lebih hebat dari keputusan yang kita buat selain karena kuatnya nawaitu kita bahwa semua itu karena Tuhan ada dalam setiap rumusan keputusan yang kita buat. Pelibatan Tuhan dalam setiap urusan kita membuat kita jauh lebih tenang dan tidak mudah panik. Ketenangan adalah modal terbaik untuk bisa menghasilkan kesimpulan yang baik.
Mewaspadai Covid-19 tak berarti kita harus menempatkannya dalam stigma yang keliru, dengan menganggap Covid-19 adalah sebuah kengerian. Tetap menjaga kesehatan dan kebugaran serta istirahat yang cukup malah lebih utama dibanding membangun stigma keliru atas Covid-19. Bermasker di masa pandemi yang belum berakhir adalah antisipasi yang harus terus kita lakukan sebagaimana menjaga jarak percakapan dengan orang lain. Salam sehat selalu!.(*)
Ruang Kontemplasi, Sabtu 18 Juli 2020