Oleh: L.M. Ade Ilham Bakrie, QH., S.S. |
PADA DASARNYA berjualan makanan termasuk pada perkara mu’amalah, oleh karena itu hukumnya pun diatur dengan standar-standar pada hukum mu’amalah pada umumnya.
Dan secara umum mu’amalah berupa jual beli hukumnya halal sebagaimana firman Allah dalam QS. Albaqarah (2):275
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْ
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Begitupun dalam tilikan ushul fiqh, para ulama ushul fiqh, seperti Imam Haromain al Juwayni dalam kitab Burhan fi Ushul al Fiqh, Imam Ghozali dalam Al Mustasfha, Imam Syafii dalam Ar Risalah, dan ulama-ulama salaf-kholaf lainnya secara kompulsif telah sepakat bahwa mu’amalah memiliki hukum dasar mubah/boleh.
‘’Al Aslu Fil Mu’amalah Al Ibahah’’ (hukum asal dari mu’amalah adalah kebolehan).
Jika Mu’amalah memiliki hukum mubah, maka jual beli sebagai salah satu turunan dari Mu’amalah pun memiliki hukum yang sama yakni mubah/boleh. Tentunya kemubahan itu terikat oleh kriteria-kriteria kemubahan yang telah panjang lebar dipaparkan oleh para faqih/ahli fiqih.
Beberapa di antara kriteria-kriteria dalam jual beli yang harus terpenuhi agar sebuah transaksi jual beli dapat terkategori sebagai mubah adalah, menilik pada komoditi/barang apa yang diperjualbelikan, keabsahan akad pada barang yang diperjualbelikan, bagaimana proses transaksi yang dilakukan, dan juga dampak serta peruntukan dari transaksi barang yang diperjualbelikan.
Jika seluruh kriteria-kriteria tersebut telah memenuhi syarat dan standar kehalalan, maka jual beli apapun itu dapat dihukumi boleh/mubah/halal.
Para ulama telah banyak memaparkan terkait dengan jual beli makanan yang dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan, yang secara consensus menyebutkan bahwa hukumnya mubah selama memenuhi beberapa syarat standar, di antaranya; Pertama, jual beli dilakukan dengan memerhatikan calon pembeli. Jangan sampai makanan tersebut diperuntukkan bagi seorang yang sebenarnya masuk dalam kategori Mukallaf (orang yang memenuhi syarat wajib melakukan ibadah) seperti klaster yang paling standar yakni, muslim, baligh, dan berakal.
Memperjualbelikan makanan dengan niat peruntukan untuk dikonsumsi oleh mereka sebagai mukallaf tentu hukumnya haram, karena termasuk dalam kelompok orang yang saling menolong dalam kebathilan.
Berkaitan dengan itu, maka makanan yang diperuntukkan kepada orang-orang yang mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa hukumnya boleh-boleh saja. Sebut saja misalnya, anak kecil belum baligh, orang gila yang tidak disengaja yang mendapat rukhsah isqat; orang tua, orang yang menderita penyakit tidak bisa sembuh/kambuh jika berpuasa, orang gila yang disengaja, ibu-ibu yang tidak berpuasa karena khawatir keadaan bayi yang sedang disusuinya atau dikandungnya yang mendapat rukhsah ibdal; atau juga seperti orang sakit yang ada kemungkian sembuh, wanita haid dan nifas, ibu-ibu hamil menyusui yang khawatir keadaan dirinya sendiri, dan seorang musafir yang mendapat rukhsah takhir maka memperjualbelikan makanan kepada mereka semua yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa tersebut hukumnya mubah.
Kedua, jual beli makanan hendaknya memerhatikan waktu dan kemungkian—secara dzon—terhadap orang-orang yang memiliki kewajiban puasa. Jika calon pembeli adalah seorang mukallaf (memenuhi kriteria mukallaf tadi: Islam, balig berakal, maka hendaknya si penjual mewanti-wanti jangan sampai mereka mengkonsumsinya di siang hari bulan Ramadhan).
Hal tersebut bisa dilakukan salah satunya adalah dengan cara bertanya kepada calon pembeli dan/atau tidak menyediakan fasilitas untuk makanan di tempat bagi mereka. Jika hal tersebut telah dilakukan oleh si penjual, maka hukumnya mubah dan dia tidak berdosa. Sebaliknya, jika si penjual secara jelas mengetahui bahwa calon pembelinya adalah para mukallafin yang akan merusak puasa sebelum waktunya, menyediakan fasilitas makan di tempat di siang hari, atau juga tidak bertanya kepada calon pembeli tentang status puasanya, maka hal itu hukumnya haram dan si penjual dihukumi berdosa karena telah dianggap saling membantu dalam kemaksiatan di jalan Allah ‘’ta’awanu ala alismi wa al udwan’’.
Penjual yang seperti ini juga tidak hanya menanggung dosanya sendiri, namun juga menanggung dosa orang yang telah merusak puasa karenanya ‘’Man dalla ala syarrin falahu mitslu ajri faailihi’’ (Orang yang menginisiasi, menunjukkan, memfasilitasi kepada dosa maka baginya juga dosa orang yang mengerjakan dosa tersebut). Wallahu Ta’ala A’lam. Tabik.(*)
Referensi kitab: I’anah at tholibin jilid III/24, Hasiyah Al Bujairomi jilid II/224.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Semester Akhir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga sebagai Pengasuh & Pembina di YPP Al-Amin NW Sepit.