Tata Kelola Hutan Bermasalah, Pemerintah Perpanjang Moratorium

LOMBOK BARAT, LOMBOKTODAY.CO.ID – Sistem tata kelola hutan dan lahan gambut di sejumlah Provinsi dan daerah Kabupaten di Indonesia, dinilai masih bermasalah dan belum mendukung upaya dalam program REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) secara nasional.

Dengan alasan itu, pemerintah RI memperpanjang moratorium izin penggunaan kawasan hutan bagi penggunaan hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

Direktur Wilayah UNDP Indonesia, Beate Trankmann menyampaikan laporan PGA tata kelola hutan Indonesia di Hotel Santosa, Senggigi, Lombok Barat. (lomboktoday.co.id/gra)
Direktur Wilayah UNDP Indonesia, Beate Trankmann menyampaikan laporan PGA tata kelola hutan Indonesia di Hotel Santosa, Senggigi, Lombok Barat. (lomboktoday.co.id/gra)

Melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013, pemerintah memutuskan melanjutkan penundaan pemberian izin baru hutan alam dan lahan gambut hingga akhir tahun 2014 mendatang.

“Moratorium ini diperpanjang karena ada yang harus kita cermati bahwa ada beberapa kelemahan di beberapa provinsi dan kabupaten terkait sistem tata kelola hutan. Ini menunjukan desentralisasi sektor kehutanan belum berjalan baik,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pembangunan (Balitbang) Kehutanan RI, Dr Ir R Iman Santoso, Selasa malam (25/6), usai peluncuran laporan Participaroty Governance Assesment (PGA) The 2012 Indonesia Forest, Land, and REDD+ Governance Index versi bahasa Inggris, di Hotel Santosa Senggigi, Lombok Barat.

Peluncuran PGA yang difasilitasi UNDP bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan dan Program UN-REDD, itu juga dirangkaikan dengan pembukaan pertemuan ke 10 UN-REDD dan pertemuan ke 15 Forest Carbon Patnership Facility (FCPF), yang diikuti 150 peserta dari berbagai negara anggota FCPF. Sebelumnya pada 6 Mei lalu, laporan dalam bahasa Indonesia sudah diluncurkan di Jakarta.

Kelemahan sistem tata kelola hutan di daerah, papar Iman, dapat dilihat dari rendahnya nilai indeks tata kelola hutan dan lahan gambut di Indonesia berdasarkan laporan PGA tersebut, dimana index tata kelola hutan dan lahan gambut di Indonesia pada 2012 berkisar pada point 2,32 dari skala indeks 1-5. Nilai indeks itu merupakan agregat indeks rata-rata di tingkat pusat digabungkan dengan indeks rata-rata 10 provinsi dengan kawasan hutan terbesar dan indeks rata-rata 20 kabupaten dalam provinsi tersebut.

Jika dirinci, nilai indeks tata kelola hutan di tingkat pemerintah pusat adalah 2,78, sementara indeks rata-rata 10 provinsi dengan kawasan hutan terbesar adalah 2,39 dan indeks rata-rata 20 kabupaten dalam provinsi adalah 1,8.

“Indeks kita masih rendah, belum sampai setengah dari skala indeks 1-5. Laporan ini menunjukan masih ada kelemahan dalam sistem tata kelola hutan kita terutama di Kabupaten. Moratorium dipenpanjang salah satunya untuk menata dan membenahi kembali sistem tata kelola hutan hingga ke daerah,” katanya.

Iman mengatakan rendahnya indeks tata kelola hutan itu, bukan semata kesalahan para aktor dan pemangku kepentingan di daerah Kabupaten semata, tetapi juga masih ada kelemahan pemerintah Provinsi dan pemerintah pusat dalam mendorong kesiapan daerah Kabupaten untuk tata kelola hutan yang lebih baik lagi.

Laporan PGA itu mencakup 10 provinsi di Indonesia yang luas hutannya mencapai setengah dari luas hutan di Indonesia, antara lain provinsi NAD, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Papua Barat dan Papua, dimana setiap provinsi diambil dua kabupaten, menjadi 20 Kabupaten.

“Kami akan mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mensosialisasikan laporan ini ke daerah, bukan saja Provinsi dan Kabupaten yang menjadi sasaran penelitian ini tetapi juga di semua daerah yang memiliki hutan cukup luas. Tentunya dengan pola sosialisasi yang efektif sesuai anggaran yang ada,” katanya.

Iman berharap dengan implementasi dan penyempurnaan tata kelola hutan secara terus menerus akan menurunkan laju deforestasi, mengurangi degradasi hutan, meningkatkan konservasi hutan, meningkatkan penerapan praktik-praktik terbaik pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan upaya rehabilitasi hutan berkaitan dengan REDD+ di Indonesia.

Untuk menangani degradasi dan deforesisasi hutan nasional, tambah Iman, Kementerian Kehutanan juga telah melakukan sejumlah langkah kongkrit seperti, membuat MoU dengan KPK dalam pencegahan gratifikasi di sektor kehutanan, MoU dengan 2 Kementerian dan lembaga dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan, serta MoU dengan penegak hukum dalam penanganan dan penindakan kejahatan lingkungan secara berkelanjutan dengan pola multydoors.

Deputi I Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Heru Prasetyo menegaskan, perpanjangan moratorium izin penggunaan kawasan hutan dilakukan sebagai jeda agar pemerintah bersama pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia dapat membenahi sistem tata kelola hutan dan lahan gambut dan menyempurnakannya dalam upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

“Istilahnya untuk jeda bernafas. Ada kesempatan untuk kita benahi apa yang kurang, perbaiki tata kelola dan regulasi-regulasi. Salah satunya kita sudah membuat pola penanganan multydoors untuk penegakan hukum pada pelanggaran di kawasan hutan, dan tidak semua negara melakukan itu,” katanya.

Heru menegaskan, Indonesia adalah negara dengan tutupan hutan tropis terbesar ketiga di dunia yang telah mengambil langkah-langkah positif untuk melindungi hutan. Indonesia juga salah satu negara pertama yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara drastis sebesar 26% pada tahun 2020, yang sebagian besar disebabkan degradasi hutan dan lahan gambut.

Indonesia merupakan salah satu dari empat negara yang menjadi percontohan program Participatory Governance Assessment (PGA) tentang tata kelola hutan, dengan dukungan dari UN-REDD Global Progamme. Tiga negara lainnya adalah Equador, Nigeria dan Vietnam. Di Indonesia penelitian selama satu tahun ini dilaksanakan melalui konsultasi erat dengan Satgas REDD+, Kementerian Kehutanan dan BAPPENAS. Laporan Indeks Tata Kelola Hutan Indonesia 2012 itu disusun melalui konsultasi publik yang intensif serta didukung akademisi dan ahli terkemuka di Indonesia.

Sementara itu, Direktur Wilayah UNDP Indonesia, Beate Trankmann (perempuan) mengatakan, data dasar serta analisa tata kelola hutan dalam laporan PGA tersebut bertujuan menyediakan sumber informasi bagi pemerintah untuk mengidentifikasi peluang untuk menguatkan implementasi program REDD+ di Indonesia.

“Kami berharap hasil penilaian ini akan diterjemahkan dalam tindakan konkrit untuk memperbaiki tata kelola hutan, lahan dan REDD+. Ini adalah prasyarat untuk melindungi hutan dan lahan gambut secara efektif dan secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dan mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan umat manusia” kata Trankmann.

Menurutnya, dari empat negara pilot project PGA kehutanan ini, Indonesia menjadi negara pertama yang sudah selesai laporannya, sementara untuk Nigeria, Vietnam dan Equador masih dalam proses penelitian. Ia menjelaskan, hasil indeks tata kelola hutan dari empat negara ini tidak bisa dirangking, lantaran metodologi penentuan indeksnya berbeda-beda karena setiap negara itu memiliki tantangan, peluang, dan permasalahan lapangan yang berbeda-beda.(Sid)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *