Karakter Seorang Pembelajar

Prasetya Utama.
Prasetya Utama.

Oleh: Prasetya Utama |

KARAKTER dan sifat-sifat pembelajar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profesi sebagai pendidik atau pengajar adalah posisi sosial yang strategis dalam sebuah sistem, serta memiliki kedudukan yang tinggi dan utama. Karena pengajar atau pendidik adalah ujung tombak gerakan perubahan. Di pundak mereka terpikul tanggungjawab yang besar yaitu membangun sebuah peradaban bangsa untuk di masa depan.

Dalam kitab Ta’lim Muta’alim, memberikan syarat bagi seorang pembelajar dengan 6 (enam) hal yang paling tidak dibutuhkan agar tercapainya tujuan pembelajaran. ‘’Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena 6 (enam) syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru dan masa yang panjang (kontinyu)’’.

Pertama, memiliki kecerdasan, yaitu penalaran, wawasan, pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Termasuk di sini kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Tentunya zaman kita dulu berbeda dengan zaman sekarang yang sudah ditandai dengan kemajuan iptek yang serba cepat dan instan tidak terbatas oleh jarak serta waktu. Orang mudah belajar dengan via daring atau online tinggal pencet androidnya.

Kedua, memiliki hasrat yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya. Motivasi ini menjadi penting sebagai persyaratan pembelajaran. Sebab, persoalan manusia tidak sekadar mampu tetapi juga mau atau kemauan yang keras. Pepatah Arab mengatakan, Man jadda wa jada, barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.

Motivasi belajar dalam Islam tidak semata-mata untuk memperoleh material atau sekadar untuk memperoleh keuntungan dalam karir/jabatan atau mencapai hasil kerja dengan kualitas tinggi, tetapi lebih dari itu belajar memiliki motivasi beribadah, yang mana dengan belajar seseorang dapat mengenal pada Allah SWT, karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan berilmu.

Ketiga, bersabar dan tidak mudah putus asa dalam belajar walaupun hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis, administrasi. Sabar merupakan kunci bagi keberhasilan dalam belajar atau pembelajaran. Sabar adalah menahan diri atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menghindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah dan kekacauan dalam proses belajar.

Menurut Al-Ghazali, sabar terkait dengan 2 (dua) aspek, yaitu: Pertama, fisik (badani), yaitu menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar. Kedua, Psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari tuntunan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan rasional dalam mencari ilmu.

Salah satu kelebihan Nabi Khidhir dibandingkan dengan Nabi Musa adalah bahwa Nabi Khidhir mengetahui peristiwa  yang belum terjadi. Sebagaimana yang dilukiskan dalam Al-Qur’an bahwa kunci pengetahuan Nabi Khidhir yang tidak dimiliki Nabi Musa adalah sabar, sehingga berkali-kali Nabi Khidhir mengatakan: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku’’. Dalam kisah ini, sabar menjadi kunci bagi kecerdasan seseorang dalam memperoleh pengetahuan, yang oleh temuan dewasa ini disebut dengan Kecerdasan Emosional. Kesabaran sebagai inti Kecerdasan Emosional mengantarkan kesuksesan seseorang, sekalipun tidak melupakan jenis kecerdasan yang lain. Man Shabara Zhafira, siapa yang bersabar, niscaya berhasil.

Keempat, mempunyai seperangkat modal dan sarana yang memadai dalam belajar termasuk biaya dan dana dalam belajar atau pembelajaran. Memang benar, dari sudut material, investasi yang dikucurkan untuk dana atau biaya belajar atau pembelajaran tidak akan memperoleh keuntungan yang besar bahkan boleh jadi merugi, namun secara spiritual justru inilah investasi yang hakiki dana abadi yang dapat dinikmati untuk jangka panjang dan masa depan di akhirat.

Kelima, adanya petunjuk pendidik atau guru, sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap apa yang dipelajari. Karena tidak semua ilmu atau pengetahuan bisa dipelajari dengan otodidak via daring, online atau e-learning. Ada beberapa bidang yang sulit atau mungkin tidak bisa seperti bidang medis, dalam Islam belajar misal belajar tentang ilmu tajwid (ilmu tata cara membaca Al-Qur’an yang benar) tidak bisa dilakukan hanya dengan membaca, melihat dan mendengar sendiri tetapi dibutuhkan interaksi face to face antara kedua belah pihak.

Seperti apa yang disampaikan oleh KH Dimyati Rois, menjadi seorang guru bukan hanya sekadar ‘’transfer of knowledge’’ yang akan ada masanya di mana tak lagi dibutuhkan, karena google lebih cerdas dan lebih tahu banyak dari pada kita sendiri. Namun jika kita menjadi guru juga mentransfer adab (moral), ketakwaan dan keikhlasan, maka kita akan selalu dibutuhkan karena google tak memiliki itu.

Keenam, masa yang panjang, yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu (Long Life Study) sampai pada akhir hayat. Tholabil ilmi minal mahdi ila lahdi atau belajar dari lahir atau buaian sampai ke liang lahat. Belajar tidak mesti melalui lembaga formal, tetapi juga bisa melalui lembaga non formal sebagai tempat pengembangan pengetahuan, kepribadian dan keterampilan.

Di akhir tulisan ini mari kita renungkan kisah Imam Syafi’i memahami betul hal ini dalam sebuah pelajaran nyata yang diberikan gurunya, Waki’. Seperti diketahui Imam Syafi’i memang dikenal dengan sosok ulama yang memiliki kekuatan ilmu dan hafalan, di mana usia 7 tahun sudah mampu menghafal Al-Qur’an dan menguasai ilmu-ilmu alam lainnya. Ia mampu menghafal kata-kata hanya dengan membacanya.

Namun suatu hari, ia tidak bisa menghafal dengan baik seperti biasanya. Ia kemudian menemui sang guru, Waki’ dan mengeluhkan hafalannya yang tidak baik. Waki’ lalu berkata padanya, ‘’Ini pasti disebabkan oleh suatu dosa yang kau lakukan hingga berpengaruh pada kekuatan hafalanmu’’.

Imam Syafi’i kemudian melakukan introspeksi, kemudian baru sadar bahwa, sebelumnya ia tidak sengaja melihat betis seorang wanita yang tersingkap karena angin saat berada di pasar. Imam Syafi’i menganggap hal itu sebagai dosa yang mempengaruhi kekuatan ilmu dan hafalannya. Akhirnya, ia mengubah bait-bait syair indah sarat pemahaman dan hikmah berikut ini: ‘’Aku mengadukan buruknya hafalanku kepada Waki’. Ia kemudian menuntunku untuk meninggalkan kemaksiatan. Ia berkata padaku, ‘’Ilmu itu cahaya…. Dan cahaya Allah tiada ditunjukkan pada pelaku maksiat’’.

Sesungguhnya, Allah SWT akan senantiasa menolong hamba-Nya yang berjuang mencari ilmu di jalan-Nya dan memberikan kemudahan untuk mempelajari ilmu.(*)

Penulis adalah Widyaiswara di BPSDMD Provinsi NTB.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *