Keterangan Ahli ITE Kemenkominfo Ringankan Terdakwa IMSA

Sidang lanjutan perkara kasus ITE
Suasana sidang lanjutan perkara pidana atas nama terdakwa Ida Made Santi Adnya (IMSA) dalam kasus ITE, dengan agenda pemeriksaan ahli bidang hukum ITE, Teguh Arifiyadi, SH., MH., CEH., CHFI., yang berlangsung di ruang sidang Cakra PN Mataram, pada Jumat (9/12/2022), pukul 10.00 Wita.

MATARAM, LOMBOKTODAY.CO.ID – Sidang lanjutan perkara pidana atas nama terdakwa Ida Made Santi Adnya (IMSA) dalam kasus ITE, dengan agenda pemeriksaan ahli bidang hukum ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), Teguh Arifiyadi, SH., MH., CEH., CHFI., telah berlangsung di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Mataram, pada Jumat (9/12/2022), pukul 10.00 Wita.

Teguh Arifiyadi selaku Plt Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) RI dihadirkan sebagai ahli dengan latar belakang pendidikan Hukum S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Pidana-Cyber Crime dan S2 Magister Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Hukum Ekonomi-Sistem Informasi.

Selain sebagai praktisi yang sudah memiliki pengalaman menjadi ahli lebih 700 perkara ITE di seluruh Indonesia, termasuk perkara Baiq Nuril dan Ahmad Dhani, juga merupakan akademisi yang mengajar Hukum Pidana terkait ITE di Universitas Bhayangkara, Universitas Indonesia (UI), dan Perguruan Tinggi lainnya di Indonesia.

Teguh Arifiyadi yang merupakan anggota Tim Penyusun UU ITE dan peraturan pelaksanaannya menerangkan bahwa syarat menjadi ahli di bidang hukum ITE menurut UU ITE, yaitu ditentukan berdasarkan surat Keputusan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI No.6 tahun 2022 tentang Tim Ahli Hukum Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Ahli Forensik Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2022 (SK Dirjen), yang di dalamnya terlampir 21 orang yang seluruhnya memiliki latar hukum pidana.

Menurut Teguh Arifiyadi, bila sudah ada ahli dari Kemenkominfo RI, maka tidak perlu menggunakan ahli pidana, dan SK Dirjen ini dijelaskan dia selalu diperbaharui setiap tahunnya.

Dalam persidangan, Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa 21 orang yang ada dalam SK Dirjen tersebut tidak ada menyebutkan nama Muhammad Salahuddien Manggalany yang selama ini sering digunakan keterangannya sebagai Ahli di bidang hukum ITE oleh Kepolisian dan Pengadilan yang ada di NTB, terutama Polda NTB, termasuk dalam perkara ini.

Untuk itu, Tim Penasehat Hukum Terdakwa, Advokat NTB Bersatu menilai ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB tidak memiliki kompetensi sebagai ahli bidang hukum ITE.

“Logikanya, tidak patut Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum serta Panitera Pengganti dalam persidangan yang seluruhnya memiliki latar belakang hukum mempertimbangkan keterangan ahli hukum yang pendidikannya bukan di bidang hukum, apalagi sampai harus menjelaskan unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Juga, tindakan Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli ini bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di Kejaksaan sendiri, yaitu Pedoman Jaksa Agung RI No.7 Tahun 2021 tentang Penangangan Perkara Tindak Pidana di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Tahap Prapenuntutan, yang secara tegas menentukan bahwa ahli di bidang ITE adalah ahli yang dari Kemenkominfo RI,” jelas Yan Mangandar dari Advokat NTB Bersatu.

“Besar harapan kami agar ke depannya Jaksa Peneliti dan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri maupun Tinggi yang ada di NTB agar secara tegas memberikan petunjuk, bahkan berani menolak berkas perkara pidana ITE yang diajukan Penyidik apabila tidak menggunakan Ahli yang berdasarkan UU ITE dan Pedoman Jaksa Agung RI No.7 Tahun 2021. Karena hal itu akan bertentangan pula dengan arahan Bapak Presiden RI Joko Widodo yang merasa resah telah banyak aduan terkait pelaksanaan UU ITE telah menyimpang dari tujuan awal/filosofi diadakannya UU ITE,” paparnya.

Yan menambahkan, dalam persidangan ahli menyampaikan bahwa perbuatan terdakwa IMSA mengupload objek putusan/eksekusi lelang tidak memenuhi unsur pasal yang didakwakan, yaitu Pasal 28 ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Di antaranya, karena IMSA memiliki hak bertindak selaku kuasa hukum berdasarkan surat kuasa dari kliennya, I Nengah Suciarni, untuk tujuan mencari calon pembeli terhadap objek. Dan, objek yang di upload faktanya benar ada, begitupun dengan dokumennya tidak ada yang diubah oleh IMSA untuk tujuan menyesatkan. Apalagi dalam kasus ini, Pelapor I Gede Gunanta tidak mampu membuktikan kerugiannya melalui transaksi elektronik kepada Terdakwa.

“Maka dari itu, kami Advokat NTB Bersatu, dengan keterangan Ahli adecharge hari ini, makin menguatkan keyakinan kami bahwa terdakwa IMSA tidak bersalah!,” tegas Yan Mangandar.(Sid)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *