Utang dalam Perspektif Agama dan Sastra

M Sinal
M. Sinal

Oleh: Mohamad Sinal |

Terminologi Utang

Utang piutang merupakan salah satu perbuatan yang lazim terjadi dalam kehidupan manusia. Secara individu maupun kelompok (perusahaan), utang piutang telah menjadi kebiasaan yang  sulit dihindari oleh kebanyakan manusia. Keberadaan utang piutang diperkirakan telah ada dan dikenal oleh manusia (masyarakat) ketika mereka berhubungan dengan pihak lain dalam kehidupannya.

Dalam perspektif agama (Islam),  utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai tolong menolong (ta’awun). Dengan demikian, utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam pandangan Islam telah mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang memiliki nilai luar biasa terutama dalam membantu antarsesama.

Bagi yang tidak mampu secara ekonomi atau sedang membutuhkan, utang merupakan sebuah pilihan. Namun, utang piutang yang semula dapat menjadi sarana tolong-menolong, tidak jarang menggelincirkan para pihak dalam perbuatan riba. Akibatnya, bukan manfaat yang didapatkan tetapi mudharat yang dirasakan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Mauludi (2023) menyatakan bahwa seseorang yang banyak hartanya dengan riba akan berakhir dengan kebangkrutan. Oleh sebab itu, transformasi spritual (spritual taransformation) diperlukan guna menyelamatkan dirinya sendiri dan keluarganya dari jeratan riba. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang persoalan utang dalam perspektif agama dan sastra.

Utang dalam Perspektif Agama (Islam)

Dalam bahasa Arab, utang dikenal dengan kata “dayn”. Utang merupakan sesuatu yang menjadi tanggung jawab seseorang terhadap orang lain. Oleh sebab itu, utang  merupakan sesuatu yang harus dilunasi atau diselesaikan. Selain itu, dari segi bahasa utang bermakna memberikan pinjaman dengan jangka waktu tertentu dalam pengembaliannya.

Banyak hadist Nabi yang menjelaskan tentang bahaya berhutang. Dengan demikian, umat Islam (siapa pun) dapat belajar agar tidak mudah berhutang, kecuali jika mengalami kondisi darurat. Nabi menyatakan, utang membuat hina di siang hari, dan menjadikan gelisah di malam hari.

Terkait bahaya utang telah dijelaskan melalui hadist yang disampaikan oleh Uqbah bin Amir Radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda, berhutang sama saja seperti meneror diri sendiri. Dengan tegas Nabi mengatakan; ‘’Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman’’. Para sahabat bertanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Itulah utang!’ (H.R. Ahmad [4/146], At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir [1/59], disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [2420]).

Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika seseorang telah terlilit utang? Apa yang solusi yang perlu dilakukan agar utang tersebut tidak menjadi “borok” yang sulit untuk disembuhkan. Sumantoro (2023) menyatakan bahwa terdapat road map sebagai petunjuk dan solusi dalam menyelaikan utang. Salah satunya menurut Sumantoro adalah “riyadhoh”.

Secara istilah, riyadhoh adalah melakukan amalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Adapaun amalan riyadhoh, menurut Sumantoro di antaranya; uzlah (mengasingkan diri dari keramaian untuk fokus beribadah), diam atau berbicara seperlunya, bangun malam untuk beribadah (sholat tahajud dan berdzikir), dan menahan lapar (melakukan puasa sunnah). Dengan mengetuk pintu langit sebanyak mungkin, maka pertolongan Allah pasti segera turun.

Sementara itu, Nasrudin (2023) menyatakan ada sebuah solusi yang dapat membantu seseorang dalam menyelesai utang, yaitu dengan memantapkan keyakinan dan berpikir positif melalui “kekuatan kata” (The Power of Word). Dalam konteks ini, menurut Nasrudin kata bisa menjadi “mantra” (baca: doa) yang sangat bepengaruh pada pola pikir dan tindakan seseorang dalam menyelaikan utang. Oleh sebab itu, janganlah sekali-kali berputus asa untuk menyelaikan utang. Tanamankan keyakinan yang kuat melalui “kekuatan kata” (doa), bahwa dengan pertolongan dan rido Allah semua utang pasti terselesaikan.

Senada dengan Nasrudin, Ihwan (2023) menyatakan bahwa tanamkan sebuah keyakinan bahwa ada Allah yang akan membantu menggerakkan hati kita untuk mencari solusinya. Selama bertikad baik untuk melunasi, maka Allah SWT pasti memberi solusi. Takutlah kepada Allah SWT, bukan kepada orang (pihak) yang menghutangi kita.

Utang Dalam Perspektif Sastra

Berbicara tentang sastra, sering kali diidentikkan dengan produk para pengkhayal yang tidak memiliki basis realitas. Kalimat bernada menyepelekan (bernada nyinyir) terhadap karya sastra, tidak jarang menjadi pemandangan yang lumrah dan dianggap benar oleh sebagian masyarakat kita. Sastrawan, sama sekali tidak memperoleh simpati atau apresiasi.

Seseorang yang menyandang predikat sastrawan atau yang berada di seputar dunia sastra dianggap tidak memiliki daya guna (secara ekonomis) sama sekali ( Norjoso). Ironisnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyatakan bahwa fiksi dikatakan sebagai cerita rekaan atau khayalan yang tidak berdasarkan pada kenyataan.  Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah justru sebaliknya, karya sastra selalu menampilkan berbagai fakta.

Terkait dengan utang, D. Zawawi Imron, penyair “Celurit Emas” lewat karya pusinya menyatakan sebagai berikut:

Tuhan!

Bila ada utang bisa membuat kami merasa gagah

barangkali gagah kami hanyalah mimpi

Kalau ada utang bisa membuat kami merasa mercusuar

barangkali sinar kami hanyalah semu

 

Bila dengan utang kami merasa jaya,

hingga tak berpikir lagi oleh kami untuk membayarnya,

bahkan selalu kami tambah dengan utang-utang baru,

barangkali utang itu sejenis iblis

yang sesekali tidak boleh masuk pintu rumah kami

 

Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami,

menjadi rambut dan bulu ketiak kami,

utang itu mendesir dalam aliran darah kami,

dan berdetak dengan sejumlah detak jantung kami,

serta tak sempat kami lunasi sebelum kami mati,

utang itu akan menjadi lumpur nanah

tempat berkubang anak-anak kami,

utang itu akan menjadi samudra airmata

tempat berlayar cucu-cucu kami.

 

Tuhan!

Berilah kami rasa ngeri

dan rasa benci

terhadap utang

 

Jadi,  puisi tersebut secara tersurat maupun tersirat menggambarkan tentang bahaya hutang bagi kehidupan manusia. Dampaknya bukan hanya terhadap si pelaku utang, tetapi juga kepada anak keturannya kelak. Oleh sebab itu, menanamkan rasa benci dan takut (ngeri) kepada utang merupan sebuah keniscayaan.

Berdasarkan fakta di atas, tidaklah berlebihan jika Sinal (2020) menyatakan bahwa keberadaan karya sasra tidak hanya menyuguhkan kata-kata yang indah dan khayalan belaka. Di dalamnya, juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang layak untuk direnungkan dan diteladani. Jangankan pada karya sastra, bahkan pada seekor katak pun yang melompat di selokan yang kotor, menurut Mustafa Luthfi el Mampalupi, salah seorang penyair Mesir di dalamnya terdapat keindahan. Sebab, di setiap lompatan itu selalu ada kekuasaan Tuhan.(*)

Dosen Politeknik Negeri Malang (Polinema) dan Anggota Komunitas Nasuha