Mi6 Prediksi Pilgub NTB 2024 Akan Diwarnai Perang Bintang Kader Parpol

Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto
Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto.

MATARAM, LOMBOKTODAY.CO.ID – Lembaga Kajian Sosial Politik Mi6 memprediksi Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTB pada November 2024 mendatang akan diwarnai perang bintang kader parpol (partai politik) yang maju sebagai xalon kepala daerah (Cakada).

Mereka akan bertarung habis-habisan dan all out demi menjaga marwah partai pengusung maupun menghargai dukungan loyalis votternya. Sementara itu, Mi6 juga menduga kuat usai gelaran Pileg dan Pilpres 2024, akan mulai ramai kandidat lain yang muncul setelah melihat peta dan mapping politik perolehan kursi di parlemen hasil Pileg 2024.

Meskipun demikian, pada akhirnya nanti konstestan Cakada yang tampil akan terseleksi lewat mekanisme politik dan dukungan. Hal ini bisa jadi munculnya konstestan bak jamur di musim hujan itu diwarnai dengan berbagai motivasi, salah satu bisa jadi hanya sekadar bluffing, test the water untuk menaikkan posisi tawar semata, ujung-ujungnya hand up dari kontestasi (withdrew from the contest).

Selain itu, terseleksi kontestan Pilgub NTB 2024 nantinya tidak terlepas dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain; popularitas kurang menarik perhatian pemilih, rekam jejak atau jam terbang yang kurang mumpuni, elektabilitas tidak naik, budget yang tipis kering, terakhir timbulnya kesadaran parpol untuk mengusung kadernya, semisal PDIP jauh-jauh hari sudah merekom kadernya tampil di berbagai tingkatan Pilkada di NTB tahun 2024 mendatang.

Minimnya Cakada baru, baik dari kader parpol maupun non partai menyongsong Pilgub NTB 2024, bisa diamati dari fenonena akhir-akhir ini yang tidak mencerminkan giroh sebagai petarung yang ‘’serius’’. ‘’Bisa jadi belum munculnya calon kepala daerah ini karena parpol sedang disibukkan oleh Pemilihan Legislatif dan Pilpres. Sehingga konsentrasi dan energi politiknya difokuskan di dua moment tersebut,’’ kata Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto melalui siaran pers, Jumat (5/1/2024).

Lelaki yang akrab disapa Didu ini menjelaskan, kalaupun saat ini energi dan konsentrasi politik parpol tercurah di momentum Pileg dan Pilpres 2024, tentu hal ini bagian dari strategi parpol untuk menaikkan elektabilitas yang tercermin dari raihan kursi di parlemen baik tingkat II (DPRD kabupaten/kota), tingkat I (DPRD Provinsi) maupun pusat (DPR RI).

‘’Makin besar jumlah perolehan kursi di parlemen secara signifikan, tentu akan berkorelasi terhadap posisi tawar politik dalam kontestasi Pilkada serentak pada November atau September 2024 mendatang, khususnya dalam menentukan papan satu atau papan dua,’’ jelas Didu.

Kalaupun saat ini, lanjut Didu, sudah dimunculkan beberapa nama yang digadang-gadang bakalan maju dalam Pilgub NTB  2024 , namun Mi6 menganggap hal itu sebatas asumsi dan rumor sesaat atau sekadar entertain politik semata. ‘’Kecuali nama calon tersebut sudah di-endors oleh parpol secara definitive, seperti PDIP misalnya yang menetapkan beberapa kadernya tampil dan maju dalam Pilkada serentak 2024,’’ ujar Didu.

Lebih lanjut mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB ini memprediksi akan banyak parpol yang mengusung kader ideologis tampil dan maju dalam gelaran Pilkada NTB serentak 2024 mendatang sebagai bagian dari kaderisasi dan jenjang karir politik. Artinya, dalam Pilkada NTB, parpol sepertinya enggan merekom calon kepala daerah (Cakada) di luar kadernya. Hal ini tentu untuk meminimalisasi risiko politik di belakang hari. ‘’Partai politik makin menyadari pentingnya meraih dan merebut  kekuasaan politik untuk memperkuat legacy dan citra baik di mata rakyat dan konstituennya,’’ ucap Didu.

Perlu Effort Kuat Yakinkan Parpol

Terkait calon kepala daerah (Cakada) bukan dari kalangan kader partai politik, Didu melihat perlu effort (upaya) yang lebih untuk menyakinkan owner (pemilik/petinggi) parpol bahwa kekuatannya tidak sekadar elektabilitas dan rekam jejak, tetapi harus disertai komitmen yang kuat plus logistik. ‘’Kontestasi Pilkada perlu biaya yang tidak sedikit untuk menggerakkan semua sumber daya pemenangan, seperti biaya kampanye, APK, saksi maupun operasional lainnya, belum lagi biaya survey, dll,’’ kata Didu.

Sehingga agak sulit membayangkan dan mustahil jika  para konstestan Pilkada tidak ditopang oleh biaya politik yang memadai untuk kontestasi Pilkada. ‘’Di pentas politik gelaran Pilkada tidak sekadar mengandalkan popularitas dan ketokohan semata, karena tidak ada makan siang gratis. Yang ada adalah hubungan simbiosis mutualisme yang saling memahami maksud,’’ ujar Didu.

Terakhir Didu menggarisbawahi bahwa tidak mudah memenangi Pilgub NTB 2024 bagi siapapun yang tampil sebagai Cakada, karena lanskap jauh berbeda disbanding Pilgub 2018 lalu. Salah satu terdapat 2,1 juta pemilih pemula/swing votter/Gen Z, milenial yang perlu diyakinkan untuk memilih dan datang ke TPS (tempat pemungutan suara).

Untuk sekadar ilustasi pada Pilgub NTB 2018 lalu, suara tidak sah sebesar 84.361, dari total pemilih 2,6 jutaan. Sementara  Pileg 2019, suara yang tidak sah maupun pemilih golput di Pulau Lombok berkisar hampir 700 ribuan. Jumlah suara tidak sah dan golput berpeluang digarap dalam Pilkada/Pemilu 2024 mendatang.

‘’Menggarap suara tidak sah dan pemilih golput diawal akan menghindarkan kandidat baru ditahap awal langsung head to head dengan petahana. Dengan menghindari head to head di fase awal dengan petahana, kandidat baru tidak akan terjebak pada pola menyiram garam di lautan saat bersosialisasi atau sia-sia,’’ ungkap Didu.(Sid)