Tak Sekadar Gaplek, Ini Soal Nyawa

KARUNG BERNAMA: Gaplek yang sudah dimasukan dalam karung ini sangat berarti bagi orang Tena Bel’e. Bahkan di setiap karung sudah diberi nama sesuai keluarga pemiliknya. [Kopong Gana/lomboktoday.co.id]

ADONARA, LOMBOKTODAY.CO.ID – Bagi orang Tena Bel’e (orang perahu besar), Gaplek bukan soal gengsi. Ini juga bukan perkara mahal atau murah atau untung rugi dalam dunia bisnis. Ini adalah masalah mati dan hidup, kebutuhan pokok akan makanan.

Setiap tahun dalam bulan-bulan  seperti ini, mereka singgah dengan perahu berukuran besar di sejumlah tempat di sekitar Pantai Waiwuring, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Mereka tak selamanya singgah di Dermaga Waiwuring yang agak “keramat” itu, karena sebagai manusia yang juga susah payah memperjuangkan dan mempertahankan hidup, mereka juga cukup keder akan “pajaknya” atau entah apa namanya, yang cukup gila di tempat itu. Jika mereka singgah di tempat lain, mereka bisa membeli gaplek untuk makanan kebutuhan mereka selama semusim penuh seharga Rp13 ribu per blik yang diguncang sekeras-kerasnya.

Sementara kalau mereka membuang sauh di Dermaga  Waiwuring, ada begitu banyak biaya tambahan yang tak perlu. Mereka dikenakan Rp 16 ribu per  blik, entah untuk urusan apa. Mereka ditagih demikian, dan mereka juga harus membayarnya. Sampai-sampai ada yang berseloroh, jangan-jangan ada daerah otorita Waiwuring di pulau ini.

Kondisi mereka kian bertambah sulit, manakala mereka harus membeli gaplek tidak hanya untuk diri mereka sendiri tapi juga untuk menyewa perahu besar yang mereka bawa untuk mengangkut  gaplek yang katanya merupakan makanan pokok mereka.

Justru karena permainan harga khususnya biaya tambahan pajak inilah yang tak hanya membuat mereka lelah dan menderita  tapi juga sedih. ‘’Kami ini tidak berdagang bapak. Kami beli untuk kami makan. Ini makanan pokok kami, tolonglah kami,’’ demikian dituturkan beberapa orang di antara mereka (Orang Tena Bel’e=Perahu Besar).

Beberapa diantaranya datang dari Batu Atas, Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Dan memang, rata-rata orang perahu yang datang membeli gaplek di Desa Waiwuring, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), berasal dari tempat itu.

Jika di waktu yang lalu, orang Tena Bel’e tinggal menunggu warga masyarakat datang ke Desa Waiwuring untuk menjual gaplek, maka sekarang ini, paling tidak hingga pertengahan Agustus ini, orang Tena Bel’e mulai bergerak ke pedalaman.

Mereka mendatangi langsung pondok-pondok warga, baik di Desa Riang Duli, Honi Hama, bahkan di Desa Watoone, yang kebunnya jauh di dekat Malu dan Uto Pau, arah selatan menuju Gunung Boleng dari Dusun Riang Belolon, Desa Honihama.

Orang Tena Bele  tak kalah besar semangatnya seperti perahu yang mereka bawa. Meski menjadi “raja” di lautan lepas, mereka juga tampak tak asing dengan bebatuan gunung yang bersusun di bebukitan sejumlah desa itu. Tanjakan maupun lembah mereka susuri demi gaplek.

Jika sudah sampai di kebun warga, tak perlu menawarkan yang lain. Buah-buahan  yang beragam di sejumlah kebun, jagung muda yang masih tersisa, jagung, bahkan nasi yang disajikan, jarang disentuh. Lantas apa yang hendak dimakan? Mereka begitu gesit mengambil “Uwe Kenal’a” (Potongan ubi yang direbus). Mereka bahkan memakannya tanpa sisa sama sekali.

Dari tingkah mereka, apa yang dilakukan ini bukanlah dibuat-buat untuk menarik perhatian. Ubi, khususunya gaplek memang makanan pokok mereka. Maka meskipun bertarung dengan gelora gelombang dalam perjalanan siang maupun malam di tengah samudra, itu tak menggoyahkan mereka sama sekali.

Ada yang bahkan mengatakan, jika orang Adonara tak mau tanam ubi lagi dan menjual gaplek kepada mereka, mungkin mereka akan mati. Orang Tena  Bel’e menyusur pantai dan masuk ke kebun warga. Dengan bahasa Lama Holot yang putus nyambung dan dengan penuh keramahan mereka menyapa warga menanyakan gaplek.

Ada yang pulang dengan muatan penuh beberapa karung dengan harga yang layak. Ada juga yang “dipajak” agak ngeri. ‘’Kami memang benar-benar  butuh untuk makanan kami.  Kami tidak jual. Di karung ini akan kami tuliskan langsung nama-nama orang dan keluarga yang berhak mendapatkan makanan ini,’’ ujar mereka.

Konon gaplek itu akan mereka bawa kemudian beberapa waktu didiamkan di dalam laut. Setelah itu diangkat dan dikeringkan. Kemudian setelah benar-benar kering, mereka menyusunnya dalam lumbung seperi Keba (Lumbung dalam Bahasa Lama Holot).

Itulah yang akan menjadi makanan istimewa yang dinikmati sepanjang musim itu. Mereka sama sekali kurang meminati beras atau jagung. “Dari dulu, sejak zaman nenek moyang, kami sudah seperti ini. Gaplek ini memang makanan pokok kami. Kami beli untuk dimakan, bukan untuk dijual. Karena itu kami memang tidak main-main, kalau orang Adonara tak jual gaplek lagi, mungkin kami akan mati. Dari dulu nenek moyang kami sudah menjalin hubungan yang sudah sangat akrab dengan orang Adonara. Karena itu setiap kali kami sampai di Adonara, kami merasa seperti datang di rumah kami sendiri,’’ ucap mereka.(ama)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *