Melihat “Kambing Makan Kertas” di Pulau Terpadat di Dunia

Anak-anak pulau Bungi menunjukan bagaimana kambing di sana memakan kertas.

SUMBAWA,Lomboktoday.co.id – Kambing memakan kertas?. Mungkin kedengaran asing bagi kita. Tapi bagi masyarakat pulau Bungin di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) hal ini menjadi pemandangan yang lumrah dan bisa ditemui dengan mudah.

Ternak Kambing yang dilepas liar, memang menyantap kertas lantaran tak ada rumput dan tumbuhan lain yang bisa tumbuh di pulau yang konon berpenduduk terpadat di dunia itu.

Anak-anak pulau Bungi menunjukan bagaimana kambing di sana memakan kertas.
Anak-anak pulau Bungi menunjukan bagaimana kambing di sana memakan kertas. (lomboktoday.co.id/P Nugraha)

Cerita Kambing makan kertas dan kearifan lokal penduduk pulau Bungin membentuk pulau karang buatan yang terus meluas ini sebagai salah satu objek wisata di Kabupaten Sumbawa, yang sayang jika dilewati.

“Anda pasti tertarik ke sana (pulau Bungin) karena cerita Kambing makan kertas?. Hanya di Bungin anda bisa melihatnya langsung, dan percaya,” kata Supardi (55) petugas labuhan Alas,  sebuah pelabuhan kecil untuk penyeberangan ke pulau Bungin, ketika rombongan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB bersama rombogan pelaku wisata di Lombok, tiba di pelabuhan Alas, beberapa waktu lalu.

Pertanyaan seperti itu hampir selalu terlontar oleh warga di sana, kepada orang luar yang menanyakan letak Pulau Bungin, dan hendak menuju ke Pulau itu.

Pulau Bungin terletak di perairan laut Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Tepatnya di sebelah utara Pulau Sumbawa. Secara administratif pulau Bungin masuk ke dalam wilayah Kecamatan Alas, Kabuaten Sumbawa.

Tak sulit menemukannya. Dari Sumbawa Besar, ibukota Kabupaten Sumbawa, hanya berjarak sekitar 70 KM ke arah barat. Sedangkan dari Kota Mataram, ibukota NTB hanya menghabiskan waktu berkendara sekitar 5 jam perjalanan ke arah timur, termasuk perjalanan laut menggunakan kapal penyeberangan Lombok-Sumbawa.

Sedikit bertanya di Desa Alas, warga di sana pasti langsung menunjukkan letak Pulau Bungin, yang dari daratan pun bisa terlihat. Jaraknya hanya sekitar 4 KM dari Desa Alas. Dari pelabuhan Alas, hanya menghabiskan waktu 15 menit berlayar menggunakan kapal motor kayu ke pulau Bungin, biayanya Rp3000 sampai Rp5000 per orang untuk tiba ke pelabuhan Bungin.

Cerita tentang Kambing makan kertas, memang sangat melekat bagi citra Pulau Bungin. Kedengarannya aneh. Tetapi pemandangan semacam itu bisa tampak begitu tiba di Pulau Bungin. Dan, menjadi sesuatu yang lazim bagi penduduk Bungin.

“Kambing di sini memang makan kertas dan kain bekas, soalnya tidak ada rumput,” kata Roni (8), seorang anak warga Pulau Bungin.

Ia dan beberapa teman sebayanya akan segera menunjukan bagaimana Kambing-Kambing di sana makan kertas, setiap kali ada pengunjung yang mampir ke Pulau itu.

Kambing memang tak punya pilihan makanan lain, selain sampah kertas dan kain bekas di Pulau Bungin. Sebab, tekstur pulau batu karang itu, memang tak memungkinkan untuk tumbuh rumput atau tanaman lainnya.

Pulau Terpadat Yang Terus Bertambah Luas

Sejak tahun 2002 lalu, Pulau Bungin yang dulunya masuk dalam bagian Desa Alas, sudah menjadi Desa definitif sendiri di wilayah Kecamatan Alas. Kini Desa Bungin terbagi atas tiga dusun, yakni dusun Bungin, Bungin Selatan, dan Tanjung.

Berdasarkan catatan Kantor Desa Bungin, jumlah penduduk di pulau itu hingga pertengahan 2013 tercatat mencapai 3.126 jiwa yang terbagi dalam 723 Kepala Keluarga (KK).

“Pulau ini mungkin satu-satunya pulau terpadat, dan satu-satunya pulau yang luasnya terus bertambah,” kata Kepala Desa Bungin, Sophian.

Menurutnya, saat diukur pada tahun 2002 silam, luas pulau sekitar 6 Hektare, namun kini luas pulau itu menjadi sekitar 8,5 hektare berdasarkan pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN) di tahun 2012.

Pulau Bungin memang sangat padat penduduk. Rumah penduduk tersusun sangat rapat, dengan jarak antara rumah hanya sekitar 1,5 meter. Rumah – rumah panggung khas Bungin itu pun sudah rata menutupi luas pulau. Karena rapatnya, ada beberapa rumah yang atapnya bertemu.

Hukum adat atau kearifan lokal yang disebut Awiq-Awiq tentang perkawinan warga Bungin, menjadi salah satu alasan yang membuat Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah penduduknya. Awiq-awiq perkawinan ini, juga yang membuat luas pulau Bungin terus bertambah.

“Dalam hukum adat kami, diatur pasangan muda-mudi yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri, untuk mendirikan rumah mereka. Caranya pasangan itu harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ini yang membuat luas pulau terus bertambah,” kata Sophian.

Ukuran lokasi bentukan yang diharuskan minimal 6 x 12 meter persegi. Pasangan yang hendak menikah, baru boleh melakukan pernikahan setelah syarat itu terpenuhi. Itu sebabnya, luas pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun seiring penambahan jumlah keluarga di sana.

“Biasanya bisa makan waktu 3 sampai 7 bulan untuk satu lokasi. Tetapi itu sudah aturannya turun temurun, kalau mereka tidak bikin lokasi ya belum boleh kawin,” kata Sophian.

Tapi, bagi warga Bungin aturan itu tidak mempersulit, sebab pengumpulan batu karang biasanya dilakukan dengan bergotong royong.

Bisa dibilang, pulau Bungin adalah pulau bentukan. Meski pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumbawa, selalu mengukur luas pulau itu setiap lima tahun, namun tak satu penduduk pun memiliki sertifikat tanah.

“Karena ini kan bukan tanah daratan, ini karang bentukan warga. Maka di pulau ini warganya tidak membuat sertifikat, hanya ada keterangan hak milik yang dikeluarkan Kantor Desa,” kata Sophian.

Legenda Panglima Mayo

Penduduk di pulau Bungin semuanya bermata pencaharian nelayan. Etnis asli mereka adalah keturunan suku Bajo dan Bugis, dari Sulawesi Selatan.

Dari cerita turun temurun yang mereka percayai, dulunya luas pulau Bungin hanya sekitar 3 hektare, dengan tekstur karang utuh. Penduduk pertama di pulau itu ialah nenek moyang mereka yang dibawa dalam armada laut Panglima Mayo, seorang pejuang Sulawesi Selatan yang terdesak oleh serangan penjajah Belanda pada tahun 1818.

“Makanya bahasa daerah sehari-hari penduduk di sini pakai bahasa Bajo, bukan bahasa asli daerah Sumbawa,” katanya.

Walau seluruh penduduknya bermata pencaharian nelayan, kehidupan warga pulau itu cukup mapan. Jauh dari kesan kemiskinan yang biasa terlihat di kampung-kampung nelayan lainnya di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hampir semua keluarga punya barang elektronik. Paling rendah punya pesawat televisi, lengkap dengan reciever parabola digital. Malah, anak-anak Bungin sudah tidak asing dengan play station. Ada sejumlah rental menyewakan play station di sana.

Kebutuhan belanja sehari-hari penduduk di sana, juga lumayan tinggi. Sebab, kecuali produk laut, semua kebutuhan lainnya harus dibeli dari luar pulau, termasuk beras dan sembako lainnya.

Emansipasi wanita juga sangat terasa di pulau ini. Umumnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari itu, para wanitalah yang mencarinya.

“Suami kita melaut, kadang sampai 3 bulan di laut. Kita yang cari uang untuk belanja,” kata Hasnah (35), istri seorang nelayan Bungin.

Untuk kebutuhan itu, Hasnah dan para wanita lainnya mencari ikan, kerang, dan tripang di sekitar Pulau Bungin. Hasilnya lumayan, mereka bisa mengantungi Rp 15 ribu sampai Rp 30 Ribu perhari. Para wanita ini juga aktif dalam kegiatan pembangunan fisik jalan Desa di pulau itu, yang terselenggara oleh Program PNPM Mandiri Perkotaan.

Nelayan di Pulau Bungin sudah menggunakan teknik modern mencari ikan. Dengan Kapal-kapal berukuran besar, menggunakan mesin tempel dan layar, mereka bisa melaut sampai ke perairan Pulau Flores, NTT, bahkan hingga perairan Maluku. Selain memburu ikan dengan jala, mereka juga terkenal piawai memburu Lobster.

Nah, hasil melaut para nelayan inilah yang kemudian digunakan untuk keperluan tambahan keluarganya. Mulai dari keperluan membangun rumah, menyekolahkan anak, membeli perhiasan, hingga naik haji.

Menurut Kepala Desa Bungin, Sophian, penduduk Bungin sangat mencintai pulaunya. Meski mapan secara ekonomi, mereka tidak pernah berpikir untuk membeli tanah dan pindah rumah ke daratan di pulau induk Sumbawa.

Ptti kalamendan isian kepeh bubungin, pdi dendamku malenan tana Bungin“. Syair adat turun temurun itu menjadi pengikatnya. Syair berbahasa Bajo itu berarti ; “Banyak peti sudah ku isi dengan uang dari Bungin, sakit hatiku jika meninggalkan tanah Bungin”.

“Di darat biasanya banyak godaan, dan juga banyak rasa tidak aman. Misalnya ada pencuri. Karena itu, walau bisa melaut sampai berbulan-bulan, masyarakat Bungin pasti kembali ke pulaunya,” kata Sophian.

Di Pulau Bungin mereka tidak merasa khawatir soal keamanan dan kenyamanan, karena pertalian persaudaraan membuat mereka saling menjaga satu sama lain. Hanya satu yang mereka takuti, yakni bila terjadi bencana kebakaran. Bayangkan, dengan posisi rumah yang sangat rapat, pasti kebakaran bisa menjalar dengan sangat cepat.

“Makanya kalau ada gejala kebakaran, maka semua masyarakat di sini menjadi petugas pemadamnya. Tapi mudah-mudahan itu tidak pernah terjadi,” katanya.

Berkat kemampuan ekonomi mereka, infrastruktur di pulau Bungin pun terus terbenahi dari tahun ke tahun. Listrik PLN dan Air PDAM saat ini sudah masuk ke sana. Sudah ada dua buah Sekolah Dasar (SD) dan satu SMP satu atap di Pulau itu, juga ada sebuah Puskesmas pembantu yang siap melayani kesehatan masyarakat. Masyarakat di sana menyediakan lokasi untuk fasilitas umum itu secara swadaya.

Secara swadaya pula, mereka membangun tanggul sepanjang 750 Meter dengan lebar 2 Meter. Tanggul itu menghubungakan Bungin dengan daratan pulau Sumbawa di Desa Alas, sehingga selain menyeberang perahu, kini menuju Bungin bisa lewat darat.

Selain memudahkan akses masyarakat ke darat, tanggul itu juga untuk mempermudah jika ada warga Bungin yang meninggal dunia. Sebab mereka dimakamkan di sebuah tanjung yang diberi nama Tanjung Kuburan, di daratan itu.

“Kalau dari tanjung darat itu, pemerintah yang membantu membuka jalan sepanjang 3 KM ke jalan raya utama,” kata Kades Bungin, Sophian.

Masyarakat Pulau Bungin masih mengharapkan bantuan pemerintah untuk dunia pendidikan di sana. Berharap ada SMA di pulau itu, walaupun lokasinya harus dikerjakan gotong royong.

Jadi Destinasi Wisata

Dijumpai saat memimpin rombongan pelaku wisata Lombok di pulau Bungin, Kepala BPPD NTB, Awanadhi Aswinabawa mengatakan, Bungin bisa menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Kabupaten Sumbawa jika dikemas dan ditata lebih baik lagi.

“Bersama Pemda Sumbawa, kami akan mencoba mendesain wisata budaya di pulau ini dengan konsep home stay. Jadi wisatawan yang berkunjung bisa berbaur tinggal di rumah-rumah penduduk, berinteraksi, dan tentu saja bisa melihat langsung Kambing makan kertas di sini,” katanya.

BPPD NTB akan mempromosikan pulau ini dan mengajak para pelaku wisata terutama travel agent di Lombok untuk mulai membuat paket-paket wisata Lombok-Sumbawa yang menempatkan Bungin sebagai salah satu objek yang menjadi rangkaian paket wisata.

Kini, Pulau Bungin sudah ditetapkan menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Sumbawa yang menjadi Desa Wisata. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara ingin melihat dari dekat.

“Setiap bulan selalu ada dua sampai tiga kali kunjungan rombongan wisatawan yang datang. Ada yang dari Jakarta (Domestik) ada juga tamu asing. Ya mereka tertarik dan senang melihat Kambing makan kertas,” kata Kepala Dusun Bungin, Makassau (45).

Menurut Makassau, saat ini anak-anak Bungin juga dilatih kesenian tradisional khas Bungin, mulai tari-tarian penyambut tamu, dan juga atraksi pencak silat.

Meski perkembangan pulau terus meluas dan gaya hidup masyarakat disana semakin maju. Ada satu yang tak pernah berubah di pulau itu. Walau semua rumah memiliki kamar mandi, namun tak satu rumah pun punya WC. Buang air tetap dilakukan di laut.

“Tapi tenang saja, untuk tamu (wisatawan) kami sudah mendirikan WC umum di dekat pelabuhan,” kata Makassau.

Selain keramahan penduduknya, ada dua hal yang pasti berkesan ketika berkunjung ke Pulau Bungin. Pertama, rasa sate daging kambingnya yang pasti lebih lezat dari pada sate kambing di daratan. Dan yang kedua, perlu berjalan kaki puluhan meter jika hendak membuang hajat. (Naskah dan Foto : Panca Nugraha)

Response (1)

  1. Koreksi # bukan PNPM Mandiri Perdesaan tapi PNPM Mandiri Perkotaan yg memfasilitasi jalannya.Dalam tahun ini pulau bungin akan lebih tertata karena ada program Penataan Lingkungan Berbasis Kominitas (PLPBK) melalui PNPM Mandiri Perkotaan dng dana 1 milyar. Diharspkan semua pihak unt menfukung n ambil peran unt prnsnganan masalah yg belum tertangani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *