Ternyata, Gubernur NTB Tidak Setuju Adanya Joki Cilik di Arena Pacuan Kuda Tradisional

Gubernur NTB, H Zulkieflimansyah
Gubernur NTB, H Zulkieflimansyah.

SUMBAWA, LOMBOKTODAY.CO.ID – Gubernur NTB, H Zulkieflimansyah dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan keberadaan anak-anak yang menjadi penunggang kuda atau joki cilik di NTB, khususnya Pulau Sumbawa.

Sehingga Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sangat serius menindaklanjuti berbagai ikhtiar untuk mencari solusi dan menghentikan peran joki anak atau joki cilik di arena pacuan kuda tradisional di NTB.

Gubernur NTB yang dikenal penyuka kuda ini menjelaskan bahwa pacuan kuda tradisional, sudah melekat jokinya oleh anak-anak, sehingga menjadi tradisi yang telah mengkultur di tengah-tengah masyarakat sejak dulu. Maka dibutuhkan proses untuk mengubahnya.

”Memperbaiki tradisi ini memang tidak bisa serta merta begitu saja, tapi butuh proses,” kata Gubernur NTB, H Zulkieflimansyah pada acara penutupan lomba pacuan kuda sebagai bagian dari side event untuk memeriah MXGP Samota Sumbawa 2022, di Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, pada Rabu (22/6/2022).

Bang Zul, demikian Gubernur NTB ini biasa disapa mengaku sering melihat pacuan kuda di luar negeri. Sehingga ditegaskannya bahwa tidak setuju dengan adanya joki cilik. Namun keberadaan joki cilik yang identik dengan pacuan kuda masyarakat Sumbawa, Dompu dan Bima ini sudah dianggap hal yan biasa oleh masyarakat lokal setempat.

Hal tersebut dikarenakan juga oleh ukuran dan jenis kuda di Pulau Sumbawa yang dilombakan oleh masyarakat, merupakan jenis dan ukuran kuda yang kecil, sehingga cocok untuk ditunggangi oleh joki anak-anak. Kalau ditunggangi oleh joki dewasa, maka kudanya tidak akan mampu berpacu.

Oleh karena itu, berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah, termasuk melalui Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI). Salah satunya memperketat aturan untuk jenis dan ukuran kuda. Dalam olahraga pacuan kuda, sudah memiliki kelas-kelas pacuan. Kelas F untuk dewasa dengan ukuran kuda yang besar juga.

Sehingga tambah Bang Zul, bahwa tradisi pacuan kuda di Pulau Sumbawa, tidak hanya berbicara adat dan budaya serta kearifan lokal masyarakat setempat. Akan tetapi ada banyak aspek yang ada di dalamnya, salah satunya aspek sosial kemasyarakatan.

”Secara turun temurun, keluarga pemilik kuda ini terus menjaga silaturahmi para leluhurnya, baik di arena pacuan dan di luar kehidupan sehari-hari. Ini yang unik di tradisi pacuan kuda,” ujarnya.

Begitupun sektor ekonomi kemasyarakatan juga bergerak. Puluhan UMKM dan pedagang yang berjualan dan saling membutuhkan di arena pacuan kuda. Ini menjadi sektor penggerak ekonomi masyarakat selama beberapa hari pelaksanaan lomba tersebut berlangsung.

Selain itu, Bang Zul menjelaskan bahwa keberadaan joki cilik ini juga merugikan bagi anak-anak dari aspek pendidikannya. Apalagi saat musim pacuan kuda ini berlangsung, seminggu bahkan lebih, praktis banyak yang tidak masuk sekolah.

Untuk itu, Pemerintah Daerah sudah mengaktifkan sekolah malam untuk para joki cilik yang tertinggal pelajaran di sekolahnya. Ada guru yang ditugaskan untuk mengajar selama perlombaan berlangsung.

”Sehingga para joki tidak tertinggal dalam hal pendidikan. Karena pendidikan penting untuk masa depan mereka,” ucapnya.

Jadi, untuk merubah joki cilik dan pacuan kuda yang sudah mengakar di kehidupan masyarakat ini, tentunya menjadi tantangan tersendiri. ”Kita sedang berbicara dengan para komunitas kita yang paling bawah. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, karena kalau bahasanya berlebihan tidak mungkin. Karena semakin dilarang akan tetap juga dilakukan. Jadi, intinya memang butuh proses,” ungkapnya.(Sid)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *