Kata Caleg Incumbent, Pendekatan Program Ternyata Tak Efektif

Caleg incumbent dari PKPI, Abdul Muhid.

LOMBOK TIMUR, LOMBOKTODAY.CO.ID – Kadang serba salah di mata masyarakat. Tidak membina salah, membina juga salah. Itulah penggalan pernyataan salah seorang caleg incumbent dari PKPI, Abdul Muhid kepada Lombok Today (https://lomboktoday.co.id) di rumahnya di Desa Ketangga Jeraeng, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, Senin (22/4).

Caleg incumbent dari PKPI, Abdul Muhid.

Maksud dari pernyataan anggota dewan dari PKPI ini, melihat realita perolehan suara dukungan hasil pencoblosan 17 April 2019 lalu.

Sembari sibuk melakukan rekap manual data suara dari semua desa di Dapil II Lotim, Muhid yang mengaku selama 5 tahun duduk di dewan belasan desa dibinanya melalui berbagai program seperti aspirasi, bansos hingga menggelar reses.

Namun ternyata langkah itu dinilainya tidak efektif untuk mendulang dukungan suara.

Terbukti katanya, desa-desa yang dibinanya selama 5 tahun tak sebanding dengan suara yang diperolehnya. Kalaupun ada katanya tak lewat dari 20 biji suara bahkan tidak ada sama sekali (kosong).

Justru lanjut pria yang juga berprofesi sebagai lawyer ini menyebut lebih banyak mendapat dukungan suara dari desa-desa yang hampir tidak pernah disentuhnya melalui pendekatan program.

‘’Suara personal saya bisa tembus sekitar 2 ribuan dan kalkulasi suara PKPI di dapil II meyakini saya bisa duduk kembali di kursi dewan Lotim,’’ ungkapnya.

Kendati ia yakin bisa duduk kembali, namun suara yang diperolehnya justru diraihnya dengan pendekatan transaksional melalui penggalangan langsung menjelang pemilu terutama momen-momen tarakhir.

Fenomena seperti ini menurut dosen senior salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Lotim ini, tidak hanya dialami oleh dirinya saja, namun juga dirasakan oleh caleg incumbent yang diketahuinya dari partai lain baik level kabupaten, provinsi hingga pusat.

‘’Secara politik, percuma kita berbuat selama 5 tahun toh juga harus tertutup mata hati pemilih dengan transaksi injury time. Masyarakat lebih memilih yang pertemuan satu jam ketimbang pembinaan selama 5 tahun,’’ ujarnya.

Apa yang dirasakan oleh Abdul Muhid ini ternyata mengundang keprihatinan sebagian besar warga di desanya. Salah seorang warga Desa Ketangge mengaku prihatin dengan kondisi pribadi Abdul Muhid.

Menurut warga yang ikut menyaksikan rekap suara, selama yang bersangkutan duduk di dewan, sanggup tidak memiliki apa-apa sebagaimana layaknya anggota dewan yang menurut kata orang memiliki rumah megah dan mobil mewah dan hidup elite. Namun tidak bagi Abdul Muhid, rehab rumahnya saja tidak dapat. Hasil sebagai dewan hanya untuk membina masyarakat. Tapi kenyataan dukungan dari masyarakat yang dibinanya dan rutin dikunjunginya hampir tidak ada.

‘’Ternyata bukan caleg yang lekak (bohong dalam bahasa Sasak), tapi kebanyakan masyarakat yang tidak tahu berbalas budi,’’ ketus warga tersebut.

Muhid menambahkan, jika dirinya dinasibkan duduk kembali ke depan akan merubah pola pembinaan. ‘’Sekali lagi secara matematik politik, saya akan merubah pola,’’ pungkasnya namun menolak menyebut pola yang dimaksud.(Kml)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *